Hakikat Iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh
keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun.[1] Sedangkan
keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman
kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan,
amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan
ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki
cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka
seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah
mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi
pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan
tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah
muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin[2]
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan
buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena
itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan
dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya,
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis.
Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga
mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan
tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia
merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya
memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain
diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak
berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka
perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1) Diyakini dalam hati
2) Diucapkan dengan
lisan
3) Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam
Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun
Iman yang enam, yaitu:
1)
Iman kepada Alloh
Yakni beriman kepada rububiyyah
Allah Swt, maksudnya : Allah adalah Tuhan, Pencipta, Pemilik semesta, dan
Pengatur segala urusan, Beriman kepada uluhiyyah
Allah Swt, maksudnya: Allah sajalah tuhan yang berhak di sembah, dan semua
sesembahan selain-Nya adalah batil, iman kepada Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya
maksudnya: bahwasanya Allah Swt, memiliki nama-nama yang mulia, dan
sifat-sifat-Nya yang sempurna serta agung sesuai yang ada dalam Al-quran dan
Sunnah Rasul-Nya.
2)
Iman kepada malaikatNya
Malaikat adalah hamba Allah yang mulia, mereka diciptakan
oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk dan patuh menta’ati-Nya,
Allah telah membebankan kepada mereka berbagai tugas, Diantaranya adalah :
Jibril tugasnya menyampaikan wahyu, Mikail mengurusi hujan dan tumbuh-tumbuhan,
Israfil meniup sangsakala di hari kiamat, Izrail (malaikat maut), Raqib ,
Atit,mencatat amal perbutan manusia, Malik menjaga neraka, Ridwan menjaga
surga, dan malaikat-malaikat yang lain yang hanya Allah Swt yang dapat
mengetahuinya.
3)
Iman kepada kitabNya
Allah yang Maha
Agung dan Mulia telah menurunkan kepada para Rasul-Nya kitab-kitab, mengandung
petunjuk dan kebaikan. Diantaranya: kitab taurat diturunkan kepada Nabi Musa,
Injil diturunkan kepada Nabi Isa, Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Shuhuf
Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, Al-quran diturunkan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad
Saw, Dengannya Allah telah menasakh
(menghapus) semua kitab sebelumnya. Dan Allah telah menjamin untuk menjaga dan
memeliharanya, karena ia akan menjadi hujjah atas semua makhluk, sampai hari
kiamat.
4)
Iman kepada rosulNya
Allah telah mengutus kepada maakhluk-Nya para rasul,
rasul pertama adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad Saw, dan semua itu
adalah manusia biasa, tidak memiliki sedikitpun sifat ketuhanan, mereka adalah
hamba-hamba Allah yang dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri
semua syari’at dengan syari’at yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw,yang
diutus untuk seluruh manusia , maka tidak ada nabi sesudahnya.
5)
Iman kepada Qodho dan Qodar
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, ketika
Allah membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal ditempat yang penuh
kenikmatan atau ditempat siksaan yang amat pedih. Beriman kepada hari akhir
meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi setelah itu, seperti
kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.
6)
Iman kepada hari akhir
Taqdir artinya: beriman bahwasanya Allah telah
mentaqdirkan semua yang ada dan menciptakan seluruh mahluk sesuai dengan
ilmu-Nya yang terdahalu, dan menurut kebijaksanaan-Nya, Maka segala sesuatu
telah diketahui oleh Allah, serta telah pula tertulis disisi-Nya, dan Dialah
yang telah menghendaki dan menciptakannya.
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman,
yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan
secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan
kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka
sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah
memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat
Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai
dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat
dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan
dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad
saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang,
maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih
dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak
dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran
sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).
Inilah rukun-rukun Iman.
Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung. Barangsiapa yang
menentangnya, maka ia akan sesat dan merugi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ
وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Artinya
:
“Wahai
orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab suci yang telah
diturunkan kepada RasulNya (Muhammad n ) dan kitab yang diturunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kufur kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya,
kitab-kitabNya dan hari Kiamat, maka sungguh ia benar-benar tersesat.” [an
Nisaa` : 136].
Hakikat Islam
Islam bersal dari kata, as-salamu, as-salmu,
danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan
patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang
berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu
yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.
Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan
diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan
senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, demi mencapai
kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.Siapa saja yang
menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan
barang siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia
seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh
maka ia seorang kafir yang sombong.[3]
Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti
kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap
pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam. Dari
pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari
sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan
ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat
al-A’rof ayat 172 yang artinya:
“ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”[4]
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat
terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:
1) Membaca dua kalimat
Syahadat
2) Mendirikan sholat lima
waktu
3) Menunaikan zakat
4) berPuasa pada bulan
Romadhan
5) naik Haji ke Baitulloh
jika mampu.
Hakikat
Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut
muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak
pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan
syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua
pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul
karimah[5]
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan
hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan
oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril
dan nabi menjawab:
…أَنْ
تَعْبُدَ اللّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ…
“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau
melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh
melihatmu…..
Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan
Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh
seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan seperti itu
maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan muncul
kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan
atau berbuat baik.
2.4 Korelasi Iman,
Islam, dan Ihsan
Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini,
akan dibahas hubungan timbal balik antara ketiganya. Iman yang merupakan
landasan awal, bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan suatu
rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila
iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh.
Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga
tidak dilakukan pada waktunya, atau malah
mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan
lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan.
Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena
amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah
bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan
semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam
kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.
Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :
قال علي كرم الله وجهه إن الإيمان
ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله وإن
النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله
Artinya :
“Sahabat
Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang
putih, apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut akan
tumbuh dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan
terlihat seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang
diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah
(warna) hati”.
Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah,
bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah.
Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah,
bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga
dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi
larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai
plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita
hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja,
menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah
hakikat dari ihsan.[6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar